Minggu, 15 April 2012

KAJIAN ASMA' SIRR 2


                                                        JALAN MA’RIFATULLAH
*
Ma’rifatullah sulit didefinisikan, secara sederhana ma’rifatullah dapat diartikan : mengenal Allah. Namun ma’rifatullah tidak hanya sekedar tahu (to know), melainkan juga harus memahami (to understand), menghayati (to perceive), meyakini (to believe firmly in) dan mengamalkan (to apply). Ma’rifatullah itu adalah ilmu sekaligus ngelmu. “Ngelmu” (bahasa Jawa) artinya pengetahuan yang memiliki unsur penghayatan, keyakinan dan pengamalan, berbeda dengan “ilmu” yang diartikan sekedar cukup dibaca dan diketahui. Ungkapan Jawa “Ngelmu iku kelakon kanthi laku” (“ngelmu” itu dapat terwujud apabila diamalkan) itu berarti bahwa “ngelmu” tidak cukup hanya diketahui, melainkan juga harus dihayati dengan baik, diyakini dengan mantap dan diamalkan dengan tekun.
Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” wajib hukumnya bagi setiap orang. Setiap insan harus mengenal Sang Penciptanya. Sumber dan muara dari segala yang ada. Beragama tanpa mengenal Robbnya ibarat berlayar tak tahu hendak kemana. Ibarat berkelana tak tahu sekarang dimana. Ibarat merantau di alam dunia tak tahu mencari siapa. Maka mengenal Allah merupakan rukun iman pertama, yang memiliki kedudukan yang tinggi.
Sebelum anda menegakan sholat, puasa, zakat dan haji terlebih dulu bersyahadat. Syahadat yang artinya kesaksian, adalah titik awal ma’rifatullah. Namun tidak semua orang yang bersaksi (syahadat) mengerti yang dipersaksikannya (di-syahadati). Pada suatu hari seorang santri sedang melangsungkan hajatan pernikahan. Pada saat akan akad nikah, Sang kyai berkata : “aku ingin cucuku yang berusia 7 tahun ini menjadi saksi dalam akad nikah ini!” tentu saja segenap orang tua yang hadir di majelis akad nikah kaget dan keberatan dengan usulan tersebut, namun sang Kyai tetap ngotot. “Mengapa tidak boleh? Cucuku ini sudah menjalankan sholat dan bisa baca Quran.” tambahnya. “Tapi kyai, meskipun begitu, tetap saja dia masih terlalu kecil untuk dijadikan saksi, ia belum mengerti apa yang sedang sejatinya ia persaksikan dalam akad nikah ini, bagaimana mungkin dijadikan saksi!” sanggah para orang tua. Lalu sang kyai menjawab : ”sebenarnya begitu juga keadaan kalian, setiap hari mengucap Syahadat (kesaksian) namun sejatinya tidak tahu apa yang sedang dipersaksikan (disyahadati)”. Begitulah sang kyai pagi itu sebenarnya hanya hendak memberi sebuah pelajaran (hikmah)  kepada para jama’ahnya.
Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” adalah fondasi agama. Adalah jalan menuju Allah ta’ala. Adalah tujuan dalam hidup manusia. Maka ma’rifatullah (mengenal Allah) adalahtitik awal dan titik akhir bagi insan beragama. Oleh sebab itu tidaklah tepat bila ada ungkapan : “jangan mengajarkan ma’rifat sebelum murid belum benar-benar menjalani syariat, hakikat, toriqot”. Ma’rifat adalah titik awal dan titik akhir. Sebelum seorang hamba menjalankan syariat, tarikat dan hakikat ia harus tahu dulu siapakah Robbnya (ber-ma’rifatullah / mengenal Tuhannya). Begitupula saat menjalankan syariat, tarikat dan mendalami hakikat semua tetap difokuskan ke jalan ma’rifatullah.
Ada pula orang yang beranggapan bahwa iman, syariat, tarekot, hakikat, ma’rifat digambarkan seperti sebuah jenjang anak tangga. Syariat diposisikan ada pada anak tangga bawah, setelah menjalani syariat kemudian naik ke tangga tarekot, lalu naik ke hakikat lalu tangga ma’rifat. Akhirnya ada anggapan bila sudah sampai tangga hakikat dan ma’rifat lalu boleh meninggalkan tangga syariat (sholat, puasa dan hukum syariat lainnya). Sesungguhnya tidak ada ajaran semacam itu dalam jalan menuju ma’rifatullah.
Empat Dimensi Menuju Ma’rifat
Mencapai ma’rifat bisa melalui empat dimensi. Dimensi pertama memiliki dasar iman yang kuat. Dimensi kedua adalah menjalankan hukum syariat. Dimensi ketiga ditempuh dengan ajaran tarekat. Dimensi keempat mampu menggali hakikat. Keempatnya berjalan seiring bersama-sama, berjalan serempak, saling mendukung, membantu dan bekerja sama. Menuju puncaknya ma’rifatullah. Maka bangunan ma’rifat diibaratkan bangunan piramid.
Iman tergelar sebagai dasar (pondasi) piramida. Sebagai fundamen ma’rifatullah, tanpa iman tak akan mungkin mengenal Tuhan.
Syariat pilar pelaksana hukum agama. Hukum syariat merupakan tiang agama, jalankan perintah dan jauhi laranganNYA.
Thariqat pilar pencari jalan yang bersih. Sebagai upaya pembersih kalbu dari kotoran hawa nafsu.
Dimensi hakikat penggali inti ajaran yang jernih. Membahas tuntas inti masalah yang mendasari semua ajaran ma’rifatullah.
Masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri-sendiri, keempatnya erat berkait, dan dilakukan bersama-sama. Persis seperti sedang menata batubata untuk membangun bangunan piramida. Sehingga tidak ada ajaran bila seorang kyai sudah ma’rifatullah kemudian boleh meninggalkan syariat. Sungguh itu jauh dari kebenaran jalan ma’rifatullah.
Pada hakekatnya tiada yang mengenal Allah kecuali hanya Allah sendiri. Pengenalan kepada Allah merupakan rahmat yang dilimpahkan kepada seluruh umat.
                                                                           ***0***
                                          Wassallam kangmas lintang kencana/Aby Dannu’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar