JALAN MA’RIFATULLAH
*
Ma’rifatullah sulit didefinisikan, secara sederhana
ma’rifatullah dapat diartikan : mengenal Allah. Namun ma’rifatullah tidak hanya
sekedar tahu (to know), melainkan juga harus memahami (to understand),
menghayati (to perceive), meyakini (to believe firmly in) dan
mengamalkan (to apply). Ma’rifatullah itu adalah ilmu sekaligus ngelmu.
“Ngelmu” (bahasa Jawa) artinya pengetahuan yang memiliki unsur penghayatan,
keyakinan dan pengamalan, berbeda dengan “ilmu” yang diartikan sekedar cukup
dibaca dan diketahui. Ungkapan Jawa “Ngelmu iku kelakon kanthi laku”
(“ngelmu” itu dapat terwujud apabila diamalkan) itu berarti bahwa “ngelmu”
tidak cukup hanya diketahui, melainkan juga harus dihayati dengan baik,
diyakini dengan mantap dan diamalkan dengan tekun.
Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” wajib hukumnya bagi
setiap orang. Setiap insan harus mengenal Sang Penciptanya. Sumber dan muara
dari segala yang ada. Beragama tanpa mengenal Robbnya ibarat berlayar tak tahu
hendak kemana. Ibarat berkelana tak tahu sekarang dimana. Ibarat merantau di
alam dunia tak tahu mencari siapa. Maka mengenal Allah merupakan rukun iman
pertama, yang memiliki kedudukan yang tinggi.
Sebelum anda menegakan sholat, puasa, zakat dan haji
terlebih dulu bersyahadat. Syahadat yang artinya kesaksian, adalah titik awal
ma’rifatullah. Namun tidak semua orang yang bersaksi (syahadat) mengerti yang
dipersaksikannya (di-syahadati). Pada suatu hari seorang santri sedang melangsungkan
hajatan pernikahan. Pada saat akan akad nikah, Sang kyai berkata : “aku
ingin cucuku yang berusia 7 tahun ini menjadi saksi dalam akad nikah ini!”
tentu saja segenap orang tua yang hadir di majelis akad nikah kaget dan
keberatan dengan usulan tersebut, namun sang Kyai tetap ngotot. “Mengapa
tidak boleh? Cucuku ini sudah menjalankan sholat dan bisa baca Quran.”
tambahnya. “Tapi kyai, meskipun begitu, tetap saja dia masih terlalu kecil
untuk dijadikan saksi, ia belum mengerti apa yang sedang sejatinya ia
persaksikan dalam akad nikah ini, bagaimana mungkin dijadikan saksi!”
sanggah para orang tua. Lalu sang kyai menjawab : ”sebenarnya begitu juga
keadaan kalian, setiap hari mengucap Syahadat (kesaksian) namun sejatinya tidak
tahu apa yang sedang dipersaksikan (disyahadati)”. Begitulah sang kyai pagi
itu sebenarnya hanya hendak memberi sebuah pelajaran (hikmah) kepada para
jama’ahnya.
Ma’rifatullah atau “mengenal Allah” adalah fondasi agama.
Adalah jalan menuju Allah ta’ala. Adalah tujuan dalam
hidup manusia. Maka ma’rifatullah (mengenal Allah) adalahtitik awal dan titik
akhir bagi insan beragama. Oleh sebab itu tidaklah tepat bila ada
ungkapan : “jangan mengajarkan ma’rifat sebelum murid belum benar-benar
menjalani syariat, hakikat, toriqot”. Ma’rifat adalah titik awal dan titik
akhir. Sebelum seorang hamba menjalankan syariat, tarikat dan hakikat ia harus
tahu dulu siapakah Robbnya (ber-ma’rifatullah / mengenal Tuhannya). Begitupula
saat menjalankan syariat, tarikat dan mendalami hakikat semua tetap difokuskan
ke jalan ma’rifatullah.
Ada pula orang yang beranggapan bahwa iman, syariat,
tarekot, hakikat, ma’rifat digambarkan seperti sebuah jenjang anak tangga.
Syariat diposisikan ada pada anak tangga bawah, setelah menjalani syariat
kemudian naik ke tangga tarekot, lalu naik ke hakikat lalu tangga ma’rifat.
Akhirnya ada anggapan bila sudah sampai tangga hakikat dan ma’rifat lalu boleh
meninggalkan tangga syariat (sholat, puasa dan hukum syariat lainnya).
Sesungguhnya tidak ada ajaran semacam itu dalam jalan menuju ma’rifatullah.
Empat Dimensi Menuju Ma’rifat
Mencapai ma’rifat bisa melalui empat dimensi. Dimensi
pertama memiliki dasar iman yang kuat. Dimensi kedua adalah menjalankan hukum
syariat. Dimensi ketiga ditempuh dengan ajaran tarekat. Dimensi keempat mampu
menggali hakikat. Keempatnya berjalan seiring bersama-sama, berjalan serempak,
saling mendukung, membantu dan bekerja sama. Menuju puncaknya ma’rifatullah.
Maka bangunan ma’rifat diibaratkan bangunan piramid.
Iman tergelar sebagai dasar (pondasi) piramida.
Sebagai fundamen ma’rifatullah, tanpa iman tak akan mungkin mengenal Tuhan.
Syariat pilar pelaksana hukum agama. Hukum syariat merupakan tiang agama, jalankan perintah dan jauhi laranganNYA.
Thariqat pilar pencari jalan yang bersih. Sebagai upaya pembersih kalbu dari kotoran hawa nafsu.
Dimensi hakikat penggali inti ajaran yang jernih. Membahas tuntas inti masalah yang mendasari semua ajaran ma’rifatullah.
Masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri-sendiri, keempatnya erat berkait, dan dilakukan bersama-sama. Persis seperti sedang menata batubata untuk membangun bangunan piramida. Sehingga tidak ada ajaran bila seorang kyai sudah ma’rifatullah kemudian boleh meninggalkan syariat. Sungguh itu jauh dari kebenaran jalan ma’rifatullah.
Syariat pilar pelaksana hukum agama. Hukum syariat merupakan tiang agama, jalankan perintah dan jauhi laranganNYA.
Thariqat pilar pencari jalan yang bersih. Sebagai upaya pembersih kalbu dari kotoran hawa nafsu.
Dimensi hakikat penggali inti ajaran yang jernih. Membahas tuntas inti masalah yang mendasari semua ajaran ma’rifatullah.
Masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri-sendiri, keempatnya erat berkait, dan dilakukan bersama-sama. Persis seperti sedang menata batubata untuk membangun bangunan piramida. Sehingga tidak ada ajaran bila seorang kyai sudah ma’rifatullah kemudian boleh meninggalkan syariat. Sungguh itu jauh dari kebenaran jalan ma’rifatullah.
Pada hakekatnya tiada yang mengenal Allah kecuali hanya
Allah sendiri. Pengenalan kepada Allah merupakan rahmat yang dilimpahkan kepada
seluruh umat.
***0***
Wassallam kangmas lintang kencana/Aby
Dannu’